Kuliah. Satu kata yang pastinya dinanti-nantikan semua
siswa/i yang baru lulus dari jenjang menengah atas. Tapi apakah semudah itu
menentukan program jurusan yang akan diambil? Terkadang keinginan personal dan
keinginan orangtua sangatlah bertentangan. Begitulah yang terjadi padaku.
Sedari
kecil, cita-citaku sudah diarahkan oleh kedua orangtuaku. Dokter. Ya, cita-cita
klasik yang selalu diucapkan oleh para anak kecil saat ditanyakan mau jadi apa
kalau sudah besar. Cita-cita itu juga pulalah yang dianut dan diamini oleh
kedua orangtuaku terhadapku dan kakakku. Awalnya aku dan kakakku sama-sama
mempunyai niat yang besar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan dokter. Tapi
pada akhirnya, akupun tak tahu mengapa keinginan dalam diri kakakku itu
tiba-tiba musnah begitu saja, dia beralih memilih program studi teknik
arsitektur. Tapi aku mengakui bakat menggambar yang ada pada diri kakakku.
Awalnya keinginan tersebut ditentang, tapi pada akhirnya orangtuaku terpaksa
mengalah dengan keinginan tegas dari kakakku untuk tidak memilih program
kedokteran.
Bagaimana
denganku? Akulah harapan satu-satunya. Orangtuaku telah banyak menabung dan
menuntunku untuk memilih program studi pendidikan dokter. Saat pemilihan
jurusan di SMA aku dipaksa untuk memilih jurusan IPA, padahal ada separuh
hatiku yang memilih jurusan Bahasa dan IPS. Aku mengikuti alur yang orangtuaku
buat. Aku harus berusaha sangat keras di kelas IPA, nilai-nilai IPAku tidak
pernah sebaik nilai bahasaku. Ya, sejak kecil aku sangat suka hal yang berbau
‘sastra’. Aku suka menulis, ada banyak cerpen dan puisi yang aku buat hanya
untuk kepuasan pribadiku. Aku tidak pernah berniat untuk mengikuti lomba-lomba
yang berhubungan dengan itu. Saat SMApun aku tidak memilih ekstrakulikuler yang
berhubungan dengan tulis-menulis. Biarlah itu menjadi hobi terselubungku. Tapi,
entahlah mengapa aku diminta oleh guruku untuk menjadi anggota tim majalah
sekolah dan dipilih menjadi perwakilan sekolah untuk menulis artikel tentang
lingkungan sekolah yang tiap bulannya akan dikirim ke Kompas. Aku
menyanggupinya hanya untuk menambah pengalamanku. Tapi teman-temanku mengakui
keahlianku dibidang tulis-menulis dan menyuruhku untuk memilih jurusan
diperkuliahan yang berhubungan dengan itu.
Aku diminta
oleh orangtuaku untuk mengikuti tes masuk kedokteran disuatu universitas
swasta. Aku hanya menurut, tapi sesungguhnya aku tidak punya keinginan untuk
berada disitu. Kakakku setia mengantarku untuk mengikuti tes-tes tersebut. Tapi
saat aku perjalanan pulang, aku memarahi kakakku dan mengatakan bahwa karena
dia tidak jadi masuk kedokteran maka aku yang dipaksa masuk kedokteran. Tapi
kemudian dia berkata dengan santai, “masuk kedokteran itu masalah panggilan”.
Aku kemudian berpikir dan terus berdoa tentang jurusan apa yang sebaiknya aku
ambil. Konsekuensi masuk kedokteran adalah aku harus menghabiskan umurku selama
bertahun-tahun dibangku kuliah dan seumur hidup untuk belajar. Ya memang semua
jurusan pasti memiliki konsekuensi masing-masing, tapi tentu saja kedokteran
berkaitan dengan nyawa manusia dan hal itu memiliki konsekuensi yang lebih
besar daripada jurusan lainnya.
Aku memang
sempat berpikir untuk mengikuti keinginan orang tuaku dan memilih kedokteran,
mengingat belum ada seorangpun dalam keluargaku yang bergelar dokter, pastilah
sangat membanggakan jika gelar itu pertama kali tertera padaku. Tapi kemudian
hatiku bergejolak, haruskah aku memilih jurusan cuma untuk kepuasan pribadiku
dan untuk gengsi semata, sementara sama sekali tidak ada jiwaku kesitu?
Setelah
berkali-kali berpikir dan berdoa. Aku memutuskan untuk memilih jurusan
komunikasi. Tapi apakah semudah itu? Tentu saja tidak. Lagi dan lagi terhalang
oleh restu orangtua. Entahlah mereka selalu menganggap bahwa itu adalah jurusan
yang tidak pernah terpikirkan oleh mereka prospek kerjanya. “Mau jadi apa kamu
setelah lulus dari jurusan komunikasi?” itulah kata-kata yang selalu diucapkan
orangtuaku. Kolot. Ya, bukannya tidak hormat pada orangtuaku atau mau dianggap
durhaka. Aku jelas menentang pendapat mereka yang terkadang terlalu “merendahkan”
jurusan lain. Apakah mereka pikir bahwa kedokteran adalah jurusan dengan masa
depan yang sudah sangat jelas? Ya memang aku mengakui itu, jelas bahwa setelah
lulus kedokteran akan menjadi dokter. Tapi apakah mereka tidak melihat realita
diluar sana bahwa ada banyak sekali lulusan dari kedokteran yang sekarang
menjadi pengangguran? Bukannya merendahkan salah satu jurusan tapi itulah fakta
yang terjadi. Bukan jurusannya, tapi kualitas personal yang dimiliki oleh
setiap pribadi itulah yang dilihat oleh dunia kerja. Mereka mengatakan bahwa
mereka telah berpengalaman dan mereka tau akan hal itu. Mereka mengatakan bahwa
jurusan di kuliah itu tidak harus sesuai minat. Carilah yang berpeluang besar
untuk mendapatkan pekerjaan. Memang benar tapi apakah benar ‘tidak harus sesuai
minat’? Seseorang pernah mengatakan padaku seperti ini, “kamu bisa saja masuk
jurusan yang sesuai keinginan orangtuamu walaupun kamu tidak berminat disitu,
kamu bisa saja lulus dari jurusan itu dengan nilai yang sangat baik, karena itu
hanya soal belajar dan menghafal. Belajar adalah hal yang gampang untuk
dilakukan. Tapi apakah kamu akan berkembang didalamnya? Kamu mau hanya stuck di
tempat dan tidak berkembang? Menurut saya, cobalah sekali ini untuk tidak
mendengar kata orangtuamu.” Kata-kata inilah yang semakin memotivasiku untuk
tetap bertahan pada pilihanku.
Sejatinya
semua jurusan adalah baik tergantung bagaimana kita berkembang didalamnya. Lagipula
yang menjalani kita, bukan mereka. Tuhan sendiri telah menentukan masa depan
kita asal kita berdoa dan berusaha pasti ada kesuksesan. Cobalah untuk yakin
pada kemampuan dan lihatlah realita diluar. Justru larangan dan kesan
merendahkan dari orangtua membuat aku semakin yakin dan termotivasi bahwa aku
bisa dan pasti berhasil setelah keluar dari jurusan yang kata mereka “no class”
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar