Jumat, 27 Juni 2014

A Mail from My Mom

Saat itu aku baru saja pindah dari Jayapura untuk melanjutkan SMA di Yogyakarta, di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta. Tiba-tiba ada sesuatu yang membuatku menangis di masa-masa awal penyesuaianku tinggal dilingkungan baru, aku mendapatkan sebuah e-mail dari mama.


Dear Gio,
Gio, mama sedikit sulit untuk memulai, tapi mama ingin mengatakan sesuatu untukmu.
Di asrama sudah diatur agar siswa dapat berhasil dalam studi dan pendewasaan diri antara lain dengan adanya peraturan-peraturan. Agar siswa dapat mendisiplinkan diri, semua ada waktunya, jadi jangan dianggap sebagai suatu penyiksaan/beban.
Mungkin baiknya setiap ada tugas dari sekolah hari itu juga harus diselesaikan meskipun kumpulnya 1 minggu lagi, nanti 2 hari sebelum kumpul malamnya di edit atau di periksa lagi, jangan sekali-kali menunda pekerjaan. Kalau sekali menunda pekerjaan/tugas maka gio akan kelabakan untuk seturusnya karena setiap hari pasti ada tugas baru yang diberikan guru.
Di asrama waktunya sangat banyak kalau mau digunakan dengan baik, karena tidak ada waktu untuk nonton TV, tidak ada waktu untuk tidur-tiduran, tidak ada waktu yang ber-sms-ria. Kalau dibandingkan dengan rumah, berapa banyak waktu yang sudah terbuang, untuk nonton, tidur-tiduran, ber-SMS, dll.
Namun awas !!! ada racun di asrama yaitu ngobrol karena banyak teman, bahaya ngobrol adalah kalau terlalu keasyikan akibatnya pertama waktu untuk istirahat berkurang atau malah tidak bisa istirahat sama sekali, akibat dari kurang tidur adalah tidak konsentrasi di kelas bawaannya ngantuk, sakit kepala, dan emosional.
Akibat kedua dari ngobrol, tanpa sadar-sadar sudah bergosip, gosip sangat berbahaya karena dapat menyakiti teman yang lain yang belum tentu kebenarannya atau kalau memang benar kita tidak punya hak untuk menghakimi orang lain.
Dalam hidup bersama dengan orang lain sebaiknya kita menjaga agar tidak saling menyakiti untuk hal-hal yang sepeleh, misalnya jangan mempermasalahkan hal-hal kecil, jangan cepat tersinggung hanya karena satu-dua kata yang keras dari teman atau kakak-kakak, kalaupun ada teguran-teguran itu berarti orang lain sangat peduli terhadap kita, hanya mungkin cara penyampaian yang agak keras menurut kita, tidak apa… karena semua orang berbeda latarbelakang dan budaya. Mengalah juga tidak berarti kalah to, jadi mengalahlah untuk kepentingan bersama, dan untuk kepentingan diri sendiri.
Mama tahu mungkin, sangat sulit untuk dilakukan tetapi mama yakin bahwa gio mampu melaksanakan semua ini, karena gio anak yang baik selama hidup bersama mama, tidak menyusahkan mama, mandiri, dewasa dalam bertindak dan mama sangat yakin bahwa gio dapat bertahan sampai selesai. Dan pada saat selesai gio akan menjadi perempuan yang sangat hebat dan luar biasa, karena dalam usia yang sangat belia gio sudah melewati hari-hari sulit tanpa orang tua.
Satu hal yang terpenting di antara hal-hal penting lainnya untuk mama, adalah menjaga kemurnian dirimu, “karena dirimu adalah Bait Allah Kudus”, gio tahu maksud mama.
Untuk sementara itu dulu, mama harap gi mau baca dan simak baik-baik pesan/nasehat-nasehat mama ini, mama sangat mencintaimu, secara fisik mama tidak bisa melihatmu tiap hari, tapi gio selalu ada di dalam hati mama.

Rabu, 18 Juni 2014

Jurusan saat kuliah?


Kuliah. Satu kata yang pastinya dinanti-nantikan semua siswa/i yang baru lulus dari jenjang menengah atas. Tapi apakah semudah itu menentukan program jurusan yang akan diambil? Terkadang keinginan personal dan keinginan orangtua sangatlah bertentangan. Begitulah yang terjadi padaku.
            Sedari kecil, cita-citaku sudah diarahkan oleh kedua orangtuaku. Dokter. Ya, cita-cita klasik yang selalu diucapkan oleh para anak kecil saat ditanyakan mau jadi apa kalau sudah besar. Cita-cita itu juga pulalah yang dianut dan diamini oleh kedua orangtuaku terhadapku dan kakakku. Awalnya aku dan kakakku sama-sama mempunyai niat yang besar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan dokter. Tapi pada akhirnya, akupun tak tahu mengapa keinginan dalam diri kakakku itu tiba-tiba musnah begitu saja, dia beralih memilih program studi teknik arsitektur. Tapi aku mengakui bakat menggambar yang ada pada diri kakakku. Awalnya keinginan tersebut ditentang, tapi pada akhirnya orangtuaku terpaksa mengalah dengan keinginan tegas dari kakakku untuk tidak memilih program kedokteran.
            Bagaimana denganku? Akulah harapan satu-satunya. Orangtuaku telah banyak menabung dan menuntunku untuk memilih program studi pendidikan dokter. Saat pemilihan jurusan di SMA aku dipaksa untuk memilih jurusan IPA, padahal ada separuh hatiku yang memilih jurusan Bahasa dan IPS. Aku mengikuti alur yang orangtuaku buat. Aku harus berusaha sangat keras di kelas IPA, nilai-nilai IPAku tidak pernah sebaik nilai bahasaku. Ya, sejak kecil aku sangat suka hal yang berbau ‘sastra’. Aku suka menulis, ada banyak cerpen dan puisi yang aku buat hanya untuk kepuasan pribadiku. Aku tidak pernah berniat untuk mengikuti lomba-lomba yang berhubungan dengan itu. Saat SMApun aku tidak memilih ekstrakulikuler yang berhubungan dengan tulis-menulis. Biarlah itu menjadi hobi terselubungku. Tapi, entahlah mengapa aku diminta oleh guruku untuk menjadi anggota tim majalah sekolah dan dipilih menjadi perwakilan sekolah untuk menulis artikel tentang lingkungan sekolah yang tiap bulannya akan dikirim ke Kompas. Aku menyanggupinya hanya untuk menambah pengalamanku. Tapi teman-temanku mengakui keahlianku dibidang tulis-menulis dan menyuruhku untuk memilih jurusan diperkuliahan yang berhubungan dengan itu.
            Aku diminta oleh orangtuaku untuk mengikuti tes masuk kedokteran disuatu universitas swasta. Aku hanya menurut, tapi sesungguhnya aku tidak punya keinginan untuk berada disitu. Kakakku setia mengantarku untuk mengikuti tes-tes tersebut. Tapi saat aku perjalanan pulang, aku memarahi kakakku dan mengatakan bahwa karena dia tidak jadi masuk kedokteran maka aku yang dipaksa masuk kedokteran. Tapi kemudian dia berkata dengan santai, “masuk kedokteran itu masalah panggilan”. Aku kemudian berpikir dan terus berdoa tentang jurusan apa yang sebaiknya aku ambil. Konsekuensi masuk kedokteran adalah aku harus menghabiskan umurku selama bertahun-tahun dibangku kuliah dan seumur hidup untuk belajar. Ya memang semua jurusan pasti memiliki konsekuensi masing-masing, tapi tentu saja kedokteran berkaitan dengan nyawa manusia dan hal itu memiliki konsekuensi yang lebih besar daripada jurusan lainnya.
            Aku memang sempat berpikir untuk mengikuti keinginan orang tuaku dan memilih kedokteran, mengingat belum ada seorangpun dalam keluargaku yang bergelar dokter, pastilah sangat membanggakan jika gelar itu pertama kali tertera padaku. Tapi kemudian hatiku bergejolak, haruskah aku memilih jurusan cuma untuk kepuasan pribadiku dan untuk gengsi semata, sementara sama sekali tidak ada jiwaku kesitu?
            Setelah berkali-kali berpikir dan berdoa. Aku memutuskan untuk memilih jurusan komunikasi. Tapi apakah semudah itu? Tentu saja tidak. Lagi dan lagi terhalang oleh restu orangtua. Entahlah mereka selalu menganggap bahwa itu adalah jurusan yang tidak pernah terpikirkan oleh mereka prospek kerjanya. “Mau jadi apa kamu setelah lulus dari jurusan komunikasi?” itulah kata-kata yang selalu diucapkan orangtuaku. Kolot. Ya, bukannya tidak hormat pada orangtuaku atau mau dianggap durhaka. Aku jelas menentang pendapat mereka yang terkadang terlalu “merendahkan” jurusan lain. Apakah mereka pikir bahwa kedokteran adalah jurusan dengan masa depan yang sudah sangat jelas? Ya memang aku mengakui itu, jelas bahwa setelah lulus kedokteran akan menjadi dokter. Tapi apakah mereka tidak melihat realita diluar sana bahwa ada banyak sekali lulusan dari kedokteran yang sekarang menjadi pengangguran? Bukannya merendahkan salah satu jurusan tapi itulah fakta yang terjadi. Bukan jurusannya, tapi kualitas personal yang dimiliki oleh setiap pribadi itulah yang dilihat oleh dunia kerja. Mereka mengatakan bahwa mereka telah berpengalaman dan mereka tau akan hal itu. Mereka mengatakan bahwa jurusan di kuliah itu tidak harus sesuai minat. Carilah yang berpeluang besar untuk mendapatkan pekerjaan. Memang benar tapi apakah benar ‘tidak harus sesuai minat’? Seseorang pernah mengatakan padaku seperti ini, “kamu bisa saja masuk jurusan yang sesuai keinginan orangtuamu walaupun kamu tidak berminat disitu, kamu bisa saja lulus dari jurusan itu dengan nilai yang sangat baik, karena itu hanya soal belajar dan menghafal. Belajar adalah hal yang gampang untuk dilakukan. Tapi apakah kamu akan berkembang didalamnya? Kamu mau hanya stuck di tempat dan tidak berkembang? Menurut saya, cobalah sekali ini untuk tidak mendengar kata orangtuamu.” Kata-kata inilah yang semakin memotivasiku untuk tetap bertahan pada pilihanku.
            Sejatinya semua jurusan adalah baik tergantung bagaimana kita berkembang didalamnya. Lagipula yang menjalani kita, bukan mereka. Tuhan sendiri telah menentukan masa depan kita asal kita berdoa dan berusaha pasti ada kesuksesan. Cobalah untuk yakin pada kemampuan dan lihatlah realita diluar. Justru larangan dan kesan merendahkan dari orangtua membuat aku semakin yakin dan termotivasi bahwa aku bisa dan pasti berhasil setelah keluar dari jurusan yang kata mereka “no class” itu.